Minggu, 06 Desember 2015

Biografi mengenai Ibu Saya



Jenie Louisa Magdalena Rendus:
Seorang Ibu yang Selalu Mengandalkan Tuhan

            Orangtua memiliki peran yang penting dalam membesarkan anak. Sama seperti seorang ayah, ibu pun memegang peranan penting dalam memberikan kasih sayang dan perhatian kepada anaknya. Salah satunya adalah Jenie Louisa Magdalena Rendus. Beliau lahir di Desa Tombasian Atas, Sulawesi Utara pada tanggal 16 Januari 1963. Nama yang didapatkannya berasal dari orang-orang yang penting bagi dirinya, seperti Louisa didapatkan dari seorang guru bernama ibu Mangindaan yang pada waktu itu sangat disegani, sedangkan Magdalena berasal dari nama neneknya yaitu Magdalena Wowor. Beliau merupakan putri dari pasangan suami-istri bernama Kornelius Johanes Rendus (83) yang lahir pada tanggal 30 September 1932 dengan Mientje Tumuyu (77) yang lahir pada tanggal 13 Mei 1938. Pekerjaan mereka berdua adalah seorang petani. Sampai sekarang kedua orangtua Jenie masih sehat dan dapat melakukan aktifitas dengan baik walaupun tidak sekuat seperti pada waktu lalu. Pasangan suami-istri ini dikaruniai tiga orang anak. Satu anak perempuan dan dua anak laki-laki. Jenie Louisa Magdalena Rendus merupakan anak sulung, Rentje Lukas Rendus merupakan anak kedua yang lahir pada tanggal 14 November 1971, dan si bungsu bernama Jefry Alfian Rendus yang lahir pada tanggal 7 Agustus 1977. Walaupun pekerjaan kedua orangtuanya hanyalah seorang petani, semua anaknya telah berkeluarga dan menikmati kehidupan yang cukup baik dari segi perekonomian dan juga dari segi pendidikan. Dengan sabar dan tekun orangtua mereka memelihara dan menyekolahkan anak-anaknya. Orangtua mereka memiliki harapan supaya ketiga anak mereka dapat menikmati kehidupan yang baik, tidak seperti orangtua mereka yang hanya mengenyam pendidikan di SD saja. Itu yang pernah dikatakan oleh ayah Jenie ketika anak-anak masih kecil. Mereka sebagai orangtua punya harapan yang besar bagi ketiga anak-anaknya supaya mereka semuanya dapat menjadi sarjana. Ternyata Tuhan mendengar doa dan harapan orangtua sehingga ketiga anak mereka telah menyelesaikan bangku kuliah dan semuanya telah memiliki gelar S1 dengan jurusan yang berbeda satu dengan lainnya. Jenie adalah sarjana peternakan, adik pertamanya yang mengambil jurusan sastra Jerman jadi sarjana bahasa Jerman, sedangkan adik keduanya yang mengambil jurusan sastra Jepang jadi sarjana sastra Jepang.

Masa Kecil di Desa Tombasian
            Jenie menghabiskan masa kecil di tempat kelahirannya bersama orangtua dengan kedua adik dan kakek serta neneknya di desa Tombasian yang merupakan desa yang berada di pegunungan dengan ketinggian 700m dpl. Oleh karena itu, desa tersebut selalu terasa sejuk dan jika malam hari datang akan terasa sangat dingin. Pemandangan desa Tombasian sangat indah karena dikelilingi dengan pepohonan yang hijau dan dari desa Tombasian juga dapat terlihat di kejauhan dengan kokoh berdiri sebuah gunung yang sewaktu-waktu dapat mengeluarkan api dan lahar karena gunung ini termasuk gunung berapi. Namanya gunung Soputan. Sehingga tanam-tanaman yang di tanam warga di daerah sekitarnya, baik berupa sayur-mayur, jagung, padi dan tanaman lainnya dapat tumbuh subur. Karena gunung Soputan sangat terjaga maka sumber air yang dipakai untuk keperluan sehari-hari oleh warga masyarakat bukan saja oleh masyarakat Tombasian, tetapi juga oleh warga masyarakat lainnya yang berada di sekitar gunung, seperti desa Kanonang. Mereka mendapatkannya dari mata air kaki gunung Soputan dan pada masa lalu dialirkan melalui bambu yang kemudian disambungkan hingga ke desa. Bambu yang diperlukan sangat banyak hingga mencapai beratus-ratus ujung bambu karena jarak yang sangat jauh. Namun, dengan semangat gotong-royong yang sangat kental pada masyarakat membuat semuanya dapat dikerjakan dengan cepat. Semangat kerja keras, kesatuan, dan kekeluargaan, serta kebersamaan warga yang ada di desa Tombasian pun sangat membantu. Sudah menjadi kebiasaan mereka untuk saling bergotong-royong dalam menyelesaikan apapun, termasuk seperti di kebun maupun acara-acara perkawinan, kedukaan, dan pesta ulang tahun. Semua warga desa akan turut berpartisipasi. Tradisi gotong-royong tersebut dinamakan Mapalus.
Di desa Tombasian, apabila ada orang yang meninggal dunia, di akhir acara duka keluarga akan menyiapkan makanan untuk para tamu. Hal ini dilakukan agar keluarga yang ditinggalkan merasa terhibur. Makanan yang disiapkan oleh keluarga tersebut tentunya dibantu oleh warga desa juga. Warga desa akan mengumpulkan beras dan uang, kemudian akan memberikannya kepada keluarga yang berduka. Hal yang dilakukan ini dinamakan Persatuan Umum. Organisasi inilah yang akan mengelola kegiatan-kegiatan yang bersifat umum.
            Selain Persatuan Umum, organisasi lainnya adalah Persatuan Tolong-Menolong. Dalam organisasi ini, ayah Jenie menduduki posisi ketua. Kinerja yang dilakukan oleh ayahnya ini sangat baik sehingga pemerintah pusat mengundang bendaharanya ke Jakarta sebagai apresiasi. Tidak hanya itu, pemerintah pusat juga memberikan dana bantuan untuk organisasi tersebut. Dengan adanya apresiasi dari pemerintah pusat maka gairah gotong-royong masyarakat Tombasian bertambah baik lagi. Selain itu, ada lagi organisasi lainnya, antara lain Persatuan Sehati, Persatuan Tiga Empat Puluh Malam, Persatuan Gloria, dan masih banyak lagi. Persatuan-persatuan ini juga dibentuk agar meringankan keperluan warga desa. Persatuan tersebut seperti menyediakan keperluan-keperluan baik dari segi peralatan makan maupun tenda (dalam bahasa Manado sabuah). Hal tersebut selalu dikerjakan atau dibuat secara bersama-sama. Semua sikap kekeluargaan dan gotong-royong tersebut tetap dijaga dan dilestarikan sampai sekarang.
            Warga desa Tombasian Atas ini banyak yang memiliki pekerjaan sebagai petani, juga masyarakatnya selain bertani ada juga yang berprofesi sebagai guru, pegawai negeri sipil, tentara, polisi, dokter, perawat, dan supir. Mereka sangat rajin dan disiplin dalam bekerja. Misalnya, bagi masyarakat petani, sejak pagi sekitar jam empat subuh, rombongan warga telah siap berangkat menuju kebun untuk bekerja. Karena yang bekerja sangat banyak, tidak butuh waktu yang lama untuk mengerjakan kebun yang begitu luas. Kebun itu dapat diselesaikan hanya dalam waktu yang singkat. Dalam satu hari, mereka dapat menyelesaikan tiga sampai empat kebun yang ada. Bukan hanya dicangkul, tetapi juga sekaligus ditanami jagung yang memang merupakan tumbuhan utama di kebun-kebun warga. Selain jagung, tumbuhan yang ditanam warga pada kebun tersebut beraneka ragam seperti, sayur-sayuran, pala wijah, hingga buah-buahan yang dapat bertahan di daerah dingin. Dengan banyaknya warga yang menanam sayur di kebun sendiri, hal tersebut dapat menambah penghasilan dan memenuhi keperluan pribadi. Selain itu juga, dapat meningkatkan kesehatan warga masyarakat karena mengonsumsi sayuran yang bebas dari pengaruh obat-obat pembasmi hama tanaman.
Bagi Jenie, pemandangan tersebut sudah menjadi kesehariannya ketika ia masih kecil. Kadang-kadang ketika libur, Jenie juga ikut ke kebun bersama orangtua atau bersama kakek-nenek yang memang kesehariannya bertani. Senang rasanya ikut bersama mereka karena banyak yang dapat dilakukan sekaligus rekreasi. Jenie senang melihat pemandangan yang indah dengan pohon-pohon yang hijau dan menyegarkan. Jenie memang senang dengan pemandangan alam sehingga ketika ada tugas menggambar Jenie selalu menggambar pemandangan alam, gunung, dan kebun.

Orangtua Kebanggaan Jenie
Ayah Jenie sangatlah dikenal oleh warga desa. Ia merupakan salah satu tokoh masyarakat di desanya. Pendidikannya tidak tinggi tetapi sejak usia remaja, ayah Jenie telah diangkat oleh masyarakat sebagai Meweteng atau sekarang dikenal sebagai ketua RT. Walaupun usianya yang begitu muda, ayah Jenie sudah terbiasa memimpin, baik rapat warga maupun memimpin warga dalam memindahkan rumah dan memimpin persengketaan warga. Di rumahnya juga sering dijadikan tempat untuk mengurus pertikaian warga, seperti pertikaian tentang harta warisan tanah, dan pergaulan muda-mudi. Selain itu, rapat dalam merencanakan pembangunan desa, baik pembangunan mental dan spiritual dan pembangunan fisik pada gedung pertemuan dan sekolah. Dalam mengurus pertikaian tersebut, ayahnyalah yang selalu memimpin dan selalu berakhir dengan perdamaian karena memakai cara musyawarah dan mufakat sehingga perkara dapat diselesaikan dan semua pihak merasa puas.
Oleh karena ayah Jenie yang pandai dalam memimpin, perkara yang terjadi tidak pernah sampai ke pengadilan negeri atau pengadilan tinggi. Ayah Jenie juga dapat bekerja sama dengan para tokoh masyarakat lain di desa Tombasian dan ayahnya juga mempunyai relasi yang baik dengan pemerintah di desa tetangga. Dan yang sangat menonjol dalam kepribadian ayah Jenie adalah beliau seorang yang selalu berdoa ketika melakukan pekerjaan dan semua anak-anak dapat melihat kekuatan karakter ayah Jenie dari caranya berbicara dan mengerjakan semua pekerjaannya. Dia tidak setengah-setengah dalam mengerjakan pekerjaan. Pekerjaan apa saja selalu dituntaskan dengan baik. Ayah Jenie juga seorang yang tegas dan jujur serta sangat bertanggung jawab dan mengasihi keluarga sehingga ketika ibu Jenie sakit, ayah Jenielah yang menyediakan atau memasak makanan untuk keluarga. Dia pun sangat mengasihi isterinya sehingga mereka selalu bersama. Dan suatu ketika pada saat isterinya harus dirawat di rumah sakit selama sebulan, ayah Jenie sangat setia menjaga dan merawat isterinya.
Sementara itu, Ibu Jenie adalah seorang ibu yang lembut hatinya dan sangat pemurah, juga selalu jatuh belas kasihannya ketika ada orang yang datang minta tolong. Ibunya juga selalu memperhatikan kebutuhan anak-anaknya. Setiap hari ibu Jenie selalu bangun di subuh hari untuk menyiapkan makanan bagi seluruh keluarga dibantu juga oleh ayahnya di dapur. Kemudian, hal yang sangat mengagumkan yang dibuat oleh ibu Jenie adalah ketika anak-anak berhari ulang tahun seperti pengalaman Jenie sendiri ketika dia berhari ulang tahun ibunya selalu menyediakan penganan atau kue yang dibawa ke sekolah untuk dinikmati oleh teman-teman sekolah Jenie. Bahkan orangtua Jenie selalu membuat kue atau apa saja sekalipun Jenie sudah dewasa bahkan telah menikah.
Walaupun orangtua Jenie hidupnya hanya sederhana, mereka sangat menjunjung tinggi kehidupan yang menghargai orang lain dan dapat menjadi contoh keluarga yang selalu menjaga hidup takut akan Tuhan. Orangtua Jenie tidak pernah terlibat dengan kehidupan yang tidak memuliakan Tuhan dengan selalu menjaga hidup rumah tangga yang rukun dan harmonis. Dan Tuhan mengaruniakan anak-anak yang baik dan takut akan Tuhan.

Masa Perjuangan di Bangku Sekolah
Jenie Rendus adalah anak yang dikaruniai kepintaran dalam bidang matematika. Ia menikmati pra sekolahnya di TK GMIM Tombasian Atas. Saat itu, ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah. Hal itu disebabkan karena pada tahun 1968 mereka belum memiliki tempat tinggal yang tetap. Walaupun hidupnya yang selalu dipenuhi dengan perpindahan, ia tetap dapat menikmati hidupnya. Jenie selalu merasa gembira dengan teman-teman di lingkungannya. Pada saat itu, ia dan teman-temannya senang bermain bersama, menyanyi, mendengarkan cerita dari guru dan kedua orangtuanya, serta jalan-jalan keliling daerah sekitar. Ia selalu percaya diri dengan lingkungan barunya.
Kemudian, Jenie pun naik ke pendidikan yang lebih tinggi yaitu Sekolah Dasar. Saat naik ke bangku Sekolah Dasar, ia mulai belajar dengan serius. Beliau memulai pendidikannya di bangku Sekolah Dasar pada umur tujuh tahun di SD GMIM Tombasian Atas. Karena kepintarannya dalam berhitung, Jenie sering diikutsertakan dalam kompetisi matematika. Ia pernah meraih posisi kedua dalam kompetisi tersebut. Namun, jika saja pada saat itu guru kelasnya telah mengajarkan materi tentang akar perkalian, ia dapat meraih posisi pertama. Hanya karena masalah satu nomor saja, ia tidak dapat meraihnya. Saat kompetisi tersebut selesai, ia langsung menanyakan soal tersebut ke guru kelasnya yang sedang berada di sekolah. Jarak antara lokasi lomba di kecamatan dan sekolah sekitar tujuh kilo meter. Karena tidak mendapatkan juara pertama, ia tidak dapat meneruskan kompetisinya ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, ia juga sukses dalam pelajaran yang lain sehingga saat ujian kelulusan ia dapat meraih juara dua.
            Pada tahun 1975, ia melanjutkan pendidikannya di SMP Kristen Tombasian Atas. Waktu itu, lokasi SMP tersebut berada di Waleweru yang memiliki arti Rumah Baru. Di SMP, ia menempuh pendidikan selama tiga tahun setengah. Hal tersebut disebabkan oleh pergantian menteri pendidikan. Menteri yang menjadi pengganti bernama Daud Jusuf. Menteri tersebut mengubah tahun ajaran baru di bulan Juli yang sebelumnya berada pada bulan Januari sehingga angkatan pada tahun tersebut harus menunggu setengah tahun untuk mengikuti ujian akhir. Seharusnya beliau dapat menyelesaian pendidikannya di SMP pada bulan Desember 1978, tetapi akhirnya ia harus menunggu sampai bulan Juni 1979. SMP Kristen Tombasian Atas adalah sekolah swasta yang mengharuskan para muridnya mengikuti ujian akhir di Desa Rumoong Atas. Saat hasil dari ujian akhir tersebut keluar, beliau mendapatkan juara dua di SMPnya. Hal tersebut disebabkan oleh karena ia tidak dapat melewati saingannya yang selalu mendapatkan peringkat pertama dari Sekolah Dasarnya dulu. Walaupun dalam hal akademis mereka bersaing, tetapi dalam hal percintaan mereka saling menyatu. Saat mereka telah mengerti artinya lawan jenis, mereka akhirnya berpacaran. Mereka selalu melewati kesehariannya bersama-sama. Pasangan tersebut selalu dikatakan pasangan terpintar yang ada di sekolah. Akan tetapi, hubungan mereka tidak bertahan lama. Saat keduanya lulus dari SMP, mereka mengambil SMA yang berbeda. Beliau melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri Kawangkoan, sedangkan mantan pacarnya melanjutkan ke kota yang lain. Oleh karena itu, komunikasi antara mereka berdua terputus.
            Jenie semakin beranjak dewasa. Saat memasuki bangku SMA banyak kenangan yang dialami. Melihat pergaulan yang semakin berkembang, orangtuanya memutuskan untuk mengadakan rapat keluarga kecil-kecilan. Ayah beliau memanggil Jenie untuk diberikan sebuah nasihat. Nasihat tersebut berisi tentang masa depan. Ayah beliau menginginkan agar ia lebih fokus terhadap pendidikan. Ia ingin anak gadisnya untuk lebih giat lagi belajar dan meraih cita-cita. Ayah Jenie memberikan batasan kepadanya, yaitu di masa SMA tidak diperbolehkan untuk berpacaran. Namun yang namanya anak muda, ia tetap saja melawan perkataan orangtuanya. Ia memilih untuk berpacaran. Gadis yang masih polos tersebut memang melakukan hubungan itu secara diam-diam, tetapi tetap saja orangtuanya mengetahui hal tersebut. Pada akhirnya orangtua Jenie tidak bisa melarangnya. Akibatnya, prestasinya mulai menurun dan tidak lagi secemerlang dulu. Prestasi beliau hanya bertahan sampai kelas 10 semester 1 saja. Ia mendapatkan juara kelas pada waktu itu. Setelah semester 1, semuanya terasa biasa-biasa saja hingga lulus pada tahun 1982.


Saat Perkuliahan di Universitas Sam Ratulangi, Manado
            Setelah lulus dari SMA, beliau melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia memutuskan untuk mengambil kuliah di Manado. Saat itu, ada dua pilihan kampus, antara lain pilihan pertama di IKIP Negeri Manado yang sekarang berganti nama menjadi Universitas Negeri Manado (Unima) dan pilihan kedua di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat). Beliau mengikuti tes di kedua universitas tersebut dan hasilnya dinyatakan lulus. Melihat hasilnya tersebut, muncul rasa kebingungan di hati kecil Jenie. Ia bingung akan pilihan yang ada. Akhirnya untuk memutuskan hal tersebut, ia meminta pertolongan Tuhan. Ia berdoa agar diberikan jawaban atas universitas mana yang seharusnya dipilih. Setelah berdoa, muncullah sebuah jawaban. Beliau memilih untuk berkuliah di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dan memilih Fakultas Peternakan. Ia pun sah menjadi mahasiswi Fakultas Peternakan Angkatan 82. Dalam fakultas tersebut, ia mengambil jurusan Nutrisi.
            Selama perjalanan beliau di perkuliahan, terbersit sebuah pikiran. “Biar saya jadi gembala saja.” Itulah kata-kata yang terpikirkan di benak beliau. Pada akhirnya, saat ia menjalani perkuliahan, ia pun melayani di gereja dengan aktif. Setelah memasuki semester tiga, beliau juga mulai menghadiri persekutuan mahasiswa yang dilayani oleh Campus Crusade for Christ yang di Indonesia dikenal dengan nama Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI). Kemudian, saat memasuki semester empat di bulan September tahun 1984, Jenie memutuskan untuk menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang sebelumnya kehidupan tanpa arah membuat Jenie menjalani hidupnya dengan biasa-biasa saja. Memasuki tahun 1987, Jenie bersama teman-temannya di tempat kost mengadakan pemuridan yang dibina oleh para staf LPMI. Mereka mengajarkan tentang bagaimana hidup yang berarti dan bagaimana menikmati kehidupan yang penuh dengan sukacita saat kita mengenal Tuhan dan membagi sukacita tersebut kepada orang lain. “Pelajaran tersebut sangat berarti bagi saya karena saya jadi belajar untuk lebih bersyukur kepada Tuhan,” tutur Jenie.
            Kemudian, ia mengikuti perkuliahan dengan sangat baik. Hal itu disebabkan oleh lingkungan yang ada di sekitarnya mendukung ia untuk terus berjuang keras. Lingkungan di tempat kostnya juga sangat baik. Di sana banyak teman yang takut akan Tuhan. Begitu juga teman-teman kampusnya yang serius dengan perkuliahan memberikan dampak yang positif bagi Jenie. Ia terus mengikuti perkuliahan dengan tekun dan tidak terasa ia sudah memasuki semester akhir. Mulailah masa membuat penelitian. Satu per satu teman-teman Jenie mempersiapkan hasil penelitiannya. Jenie membuat penelitian tentang Pengaruh Tingkat Lemah Jenuh Terhadap Ketebalan Lemak pada Babi dengan menggunakan 5 level ampas kelapa. Selama 3 bulan Jenie meneliti dan pada akhirnya mengukur ketebalan lemak dan mengambil sampel untuk diuji di laboratorium untuk melihat tingkat kejenuhan masing-masing penggunaan level ampas kelapa tersebut. Setelah semua data yang dibutuhkan tersedia, Jenie melanjutkan pembuatan skripsi di bagian Bab III dan semuanya dikonsultasikan dengan dosen-dosen pembimbing.
Akhirnya tiba waktunya untuk menghadap meja hijau. “Memang semuanya sudah dipersiapkan dengan baik, tetapi tetap saat-saat menanti “waktu untuk maju terasa deg-degan dan penuh dengan doa,” tutur Jenie. Pada hari itu, Jenie bersama dua teman lainnya mendapat jadwal yang sama untuk ujian. Tetapi mereka bertiga diuji masing-masing karena dosen penguji dan pembimbingnya berbeda. Namun, dengan anugerah Tuhan semuanya berakhir dengan sangat baik. Pada tahun 1988, Jenie dinyatakan lulus bersama dua temannya yang juga sama-sama diuji pada saat itu. Tentu saja ia sangat bersyukur dengan hasil kerja kerasnya selama enam tahun perkuliahan yang penuh dengan perjuangan dan tidak sedikit tantangan dan pergumulan yang dihadapi. Terkadang pada masa kuliah, untuk membayar uang perkuliahan agak sulit. Hal itu karena orangtua Jenie tidak punya penghasilan tetap. Mereka hanya mendapatkan uang yang terbilang sedikit sehingga harus berhemat agar uang yang diberikan cukup sampai bulan berikutnya. Namun, Jenie sangat bersyukur karena ibunya selalu membantu untuk membuatkan makanan setiap ia pulang ke kampungnya yang jaraknya jauh dari desa tempat tinggal orangtua Jenie. Tetapi semuanya terbayar sehingga pada akhirnya pendidikan dapat diselesaikan.

Perjumpaan dengan Robert saat Mengikuti Acara “Jakarta 88”
            Akan tetapi, sebelum ia menyelesaikan skripsi, ia menerima tawaran utuk mengikuti sebuah acara di daerah Jakarta. Ia mendapatkan tawaran dari pendeta Steven Tong dalam sebuah acara bernama Jakarta 88. Acara tersebut dikemas untuk mendengar ceramah rohani dan juga terdapat workshop mengenai kepemimpinan Kristen bersama dengan mahasiswa dari kota Manado dan sebagian besar adalah mahasiswa binaan Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia. Ia pun meminta ijin kepada dosen pembimbingnya dan akhirnya diperbolehkan untuk ikut. Ia menghadiri acara tersebut bersama sekitar 300 mahasiswa dari Manado. Acara tersebut berlangsung selama tiga hari, tetapi karena menggunakan kapal perjalanan pulang-pergi memakan waktu 10 hari. Kapal yang mereka gunakan adalah kapal Kambuna. Pada saat itu, kapal Kambuna melewati berbagai pelabuhan di kota-kota. Salah satunya adalah pelabuhan Semayang Balikpapan.
Dari Balikpapan, ada juga peserta yang sama-sama akan mengikuti acara Jakarta 88 tersebut. Di antara banyak peserta, ada seorang lelaki bernama Robert Lambertus Rottie yang merupakan staf LPMI Balikpapan. Saat berada di kapal, ia pun berkenalan dengan Robert. Keduanya semakin hari semakin dekat. Hampir setiap malam rombongan mereka berdua bersama rombongan yang lainnya mengadakan ibadah di ruang kelas ekonomi yang sangat luas.  Hal tersebut membuat keduanya semakin menyatu. Ruangan tempat mereka berdua tidur berada di tempat yang berbeda. Namun, tidak tahu mengapa mereka berdua selalu bisa bersama dan setiap hari mengobrol tentang banyak hal termasuk study dan keinginan mereka ke depannya. Mereka yang sama-sama memiliki minat yang sama akan melayani Tuhan dan sama-sama datang dari pelayanan yang sama membuat obrolan mereka terus mengalir. Sesampainya di Jakarta, Jenie dan Robert pun selalu bertemu walaupun penginapan mereka berbeda. Jenie dan rombongan dari Manado ditempatkan di asrama Haji Pondok Gede dan dari asrama jika ingin pergi ke tempat acara yang berada di Senayan, mereka dapat menaiki bus yang telah disediakan oleh panitia. Bus tersebut akan mengantar sekaligus menjemput mereka kembali ke tempat asrama.
            Mereka semua mengikuti acara dengan baik. Jenie dan rombongan kembali menaiki kapal Kambuna untuk pulang ke Manado. Begitu juga Robert bersama rombongan menaiki kapal tersebut untuk pulang ke Balikpapan. Selama perjalanan pulang tersebut, Robert selalu mendekati Jenie. Setelah diselidiki lebih dalam, ternyata Robert telah menaruh hati pada Jenie. Lebih mengejutkannya lagi, Robert telah menyukai Jenie saat pertama kali bertemu. Akan tetapi, saat mengetahui perasaannya Jenie menjadi bingung. Ia terus memikirkannya dan berdoa kepada Tuhan. Kemudian ia pun mengambil keputusan untuk fokus terlebih dahulu kepada kuliahnya yang akan selesai.

Kehidupan Pelayanan dan Pernikahan
            Setelah sampai di Manado, Jenie langsung menyelesaikan skripsinya dan dinyatakan lulus. Ia tetap aktif dalam pemuridan yang dilakukan oleh staf LPMI Manado walaupun telah lulus dari kuliah. Karena ia yang sering datang ke kantor LPMI, ia bertemu kembali dengan pria tersebut. Robert datang ke Manado bertujuan untuk mengadakan kunjungan pelayanan. Kejutan pun diberikan oleh Robert kepada Jenie. Pria tersebut meminta Jenie untuk menjadi pacarnya. Namun, Jenie tidak langsung memberikan jawaban. Ia meminta pertolongan Tuhan terlebih dahulu. Ia berdoa apakan Tuhan mengijinkan ia untuk berpacaran dengan Robert. Robert melakukan kunjungan tidak hanya sekali. Dalam setiap kunjungannya, Jenie terus meminta arahan Tuhan dan akhirnya ia mengambil keputusan. Keputusan tersebut mengubah kehidupan Jenie selanjutnya. Ia menerimanya sebagai seorang pacar. Pada saat itu juga, Robert menantang Jenie untuk melayani Tuhan. Jenie pun menerima tantangan tersebut. Ia bersama dua rekan lainnya yang berasal dari Manado datang bersama-sama ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan. Mereka bertiga dilatih dari segi pengetahuan, keterampilan, dan juga sikap hati yang harus dimiliki oleh seorang Hamba Tuhan. Selama pelatihan, Jenie mengikuti semuanya dengan baik. Setelah kurang lebih satu tahun, pada bulan Juni 1990 ia berhasil melewati semuanya itu. Ia menjadi staf LPMI angkatan sebelas. Sementara itu, Robert merupakan staf LPMI angkatan delapan. Ia telah terlebih dahulu mengikuti pelatihan tersebut.
            Kemudian, Jenie kembali ke Manado karena ia ditempatkan oleh pimpinan LPMI untuk melayani di sana. Ia pun berpisah dengan Robert. Namun, hal tersebut tidak membuat cinta di antara mereka menghilang. Mereka berkomunikasi melalui telepon dan juga dengan surat-menyurat karena pada saat itu handphone masih jarang ditemukan. Hari demi hari terus berjalan membuat cinta antara mereka berdua semakin kuat. Mereka mulai serius membicarakan hubungan tersebut. Pada saat Robert mendapatkan kunjungan pelayanan ke Manado, Robert mengunjungi keluarga Jenie yang berada di desa untuk melamarnya. Setelah itu, diaturlah waktu untuk melakukan pertunangan. Karena Robert yang tinggal jauh di Balikpapan, pertunangan dan pengumuman pernikahan dilakukan secara bersama-sama di gereja yang berada di desa Jenie. Pada tanggal 26 Januari 1990, Jenie dan Robert menikah. Jenie mengikuti suaminya ke Balikpapan. Kemudian, karena pimpinan LPMI meminta mereka untuk ke Samarinda, mereka pun pindah ke sana. Di Samarinda mereka melayani selama 7 tahun.

Pernikahan Jenie dan Robert Dianugerahi Dua Anak Perempuan
            Pernikahan Jenie sudah berlangsung selama satu tahun. Tidak menunggu lama Jenie mengandung anak pertama mereka. Saat anak pertama mereka akan lahir, Jenie kembali ke Manado karena ia ingin melahirkan anak pertamanya di kota tempat Jenie dibesarkan. Jenie pergi sendiri ke Manado karena Robert sedang mendapatkan tugas di Samarinda. Jenie melahirkan melalui operasi caezar. Karena sudah beberapa hari Jenie kesakitan dan tidak mengalami kemajuan, bayi di dalam kandungan tidak maju-maju atau pembukaan tidak bertambah karena secara medis pembukaan seharusnya terus bertambah sampai mencapai 10 cm. Namun, bayi Jenie tetap saja di pembukaan enam. Padahal sudah hampir dua hari berada di ruang bersalin. Akhirnya dibuatlah keputusan untuk dioperasi. Kemudian, di hari tersebut persiapan untuk proses operasi pun dilakukan. Maka pada jam 11.45 pada tanggal 1 Desember 1991, lahirlah anak pertama mereka yang merupakan seorang perempuan. Mereka memberikannya nama Priskila Bernita Rottie. Diberi nama Priskila karena arti namanya adalah “yang tua, yang terkemuka”. Suaminya kemudian menyusul pulang ke Manado dan kemudian kembali ke Samarinda dua bulan kemudian. Mereka berangkat bersama ibu mertua dan sepupu untuk membantu mengurus anak mereka.
Ibu mertua Jenie hanya berkunjung selama tiga bulan saja, tetapi sangat menolong Jenie dan suaminya. Hal itu karena ibu mertuanya merupakan satu-satunya orang yang sudah memiliki pengalaman mengurus bayi. Mereka membutuhkan bantuan dari orang lain karena sibuk bekerja. Selain mertua Jenie, sepupunya juga ikut membantu. Sepupu Jenie tersebut bernama Sientje. Dia sangat membantu dan setia menjaga anak. Kehadiran Sientje sangat menolong juga karena mereka kadang-kadang harus keluar daerah maupun keluar negeri karena tuntutan pekerjaan.
Kemudian, Jenie dan suaminya diberikan anugerah lagi oleh Tuhan. Pada tanggal 20 Oktober 1996 lahirlah anak kedua mereka. Mereka memberikannya nama Grace Samantha Rottie. Nama Grace diberikan karena pada saat kelahiran, Grace dilahirkan secara normal. Arti dari nama Grace tersebut adalah anugerah. Menurut medis, hal ini merupakan suatu anugerah karena biasanya jika anak pertama dilahirkan secara caezar, anak kedua juga demikian. Tetapi ini semua dapat terjadi karena pertolongan Tuhan.

Perjalanan Pelayanan Jenie dan Robert di Luar Negeri
Kemudian, pimpinan LPMI menempatkan kedua pasang suami-istri ini untuk kembali ke Balikpapan. Selama 7 tahun, ia dan suaminya sama-sama melayani di Balikpapan. Pada tahun 2002, ia dan suami bersama teman-teman staf lainnya diberi kesempatan untuk mengunjungi negara Vietnam sebagai apresiasi dari pimpinan karena sudah melayani cukup lama. Banyak hal yang menarik di negara tersebut. Salah satun tempat yang dikunjungi adalah Hanoi. Di sana banyak terdapat danau-danau sedang dan ternyata danau-danau tersebut terbentuk dari bekas hantaman bom yang diketahui bahwa negara tersebut pada zaman dulu banyak dihantam bom. Tetapi itu sangat membuat Hanoi memiliki pemandangan yang sangat indah karena di mana-mana terdapat danau yang sekelilingnya sudah dibuat taman. Tempat tersebut menjadi tempat warga dalam berekreasi, bersantai dan menikmati kesejukan air danaunya. Tetapi ada satu hal yang sangat memprihatinkan ketika mereka melewati satu danau yang di tengahnya ada sebuah bangunan kecil dan untuk mencapai tempat tersebut harus melewati satu jembatan kecil. Jembatan tersebut dulunya dipercayai oleh warga sekitar sebagai tempat pengorbanan seorang bayi jika ingin mendapat apa yang diinginkan. Selain itu, hal yang sangat memprihatinkan juga adalah ketika mengunjungi rumah sakit. Pemandu mereka mengatakan bahwa jika ada orang yang sakit, mereka tidak mendapatkan perawatan yang baik dan bahkan botol infus yang digunakan berasal dari botol bekas karena menurut negara Vietnam jika seseorang tersebut sudah sakit, maka dia sudah menjadi sampah masyarakat dan tinggal menunggu ajalnya. Demikian juga jika terjadi kecelakan lalulintas, maka semua pihak yang terlibat apabila membawa perkaranya ke pemerintah, semuanya akan dimasukkan ke penjara dalam waktu yang tidak diketahui kapan akan dikeluarkan. Sehingga pada saat terjadi tabrakan, pelaku maupun korban tabrakan hanya saling senyum dan masing-masing menyelamatkan dirinya.
Jenie dan suami juga sempat berkunjung ke lokasi tempat rumah ibadah di salah satu desa yang semua bangunan gerejanya hampir berdekatan. Kemudian, ada hal yang menarik lagi di kota Hanoi, yaitu hampir semua warga khususnya kaum perempuan tidak ada yang gemuk. Itulah sebabnya hampir sepanjang daerah tempat warga melintas khususnya di sekitar danau, hampir dimana-mana terdapat timbangan yang menawarkan jasa untuk menimbang berat badan. Kemungkinan pemerintah membatasi berat badan warga karena memang negara ini adalah negara komunis yang semuanya diatur pemerintah, bahkan lahan untuk rumah saja tidak boleh besar. Cukup untuk bangunan rumah yang sedang dan saking kamarnya kecil, panjang ranjangnya juga tidak sampai dua meter seperti panjang ranjang pada umumnya. Itulah sedikit keunikan negara Vietnam.
Setelah itu, pada tahun 2005 Jenie dan suaminya pergi ke Davao untuk mengikuti pelatihan pelayanan untuk keluarga. Dua tahun kemudian, Jenie mendapatkan kesempatan untuk berangkat ke Korea Selatan. Ia mengikuti acara Woga yang merupakan acara pertemuan hamba-hamba Tuhan perempuan. Acara tersebut dihadiri sekitar 80 negara. Di acara tersebut, Jenie dan teman-teman banyak mendengar kesaksian dari berbagai negara termasuk negara Afrika. Mereka juga banyak berdoa serta mengunjungi gereja yang bangunan gedungnya seperti stadion kecil yang sekelilingnya terdiri dari kelas-kelas pemuridan dan ada ruang bayi di sekitar tempat ibadah tersebut agar semua ibu dapat tetap beribadah sambil menjaga anaknya. Pelayanan yang Jenie jalani pun membuatnya dapat keliling negara dan membuatnya sangat bersyukur.

Keunikan Kedua Anak Jenie
Jenie beserta suaminya selalu senang melihat kedua anaknya yang terus berkembang dan tentunya senang melihat semuanya selalu menuruti perkataan mereka. Jenie bersyukur bahwa kedua anaknya dapat bertumbuh dengan selalu mengandalkan Tuhan dan hidup takut akan Tuhan sehingga kedua anaknya diberikan kepandaian yang berlimpah. Kedua anak mereka masing-masing dengan keunikan yang tidak sama satu dengan yang lain. Anak pertama mereka, Priskila Bernita Rottie sedikit pendiam. Pernah suatu saat dia bertanya pada Jenie tentang bagaimana keadaan di surga. Jenie menjawab bahwa di sana semua orang selalu memuji dan menyembah Tuhan. Priskila pun kembali bertanya, “Kok tidak bosankah kalau kerjanya tiap hari itu-itu saja?”
Selain itu, ia juga pernah mengadu pada Jenie bahwa di kelas kedua teman laki-lakinya berkelahi. Guru di sekolahnya pun memanggil mereka berdua dan menanyakan tentang kepada temannya tersebut di bagian mana badan yang kena pukulan temannya. Lalu, Priskila kaget menyaksikan bahwa gurunya meminta temannnya yang kena pukul tersebut untuk membalas memukul sesuai tempat yang dipukul oleh temannya. Jenie yang mendengar hal tersebut menjelaskan tentang bagaimana Yesus mengajarkan untuk saling mengasihi musuh dan tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Setelah dijelaskan oleh Jenie, sekarang Priskila menyadari walaupun ia adalah seorang “musuh”, Priskila tetap harus mengasihinya.
Sementara itu, hal yang unik dari anak kedua mereka adalah kebiasaan menulis diary. Grace selalu menulis setiap hari tentang apa saja yang terjadi pada hari itu, baik itu pengalaman baik maupun buruk. Lalu, di setiap akhir tulisan selalu diakhiri dengan kalimat “semoga hari esok lebih menyenangkan”. Itulah sedikit kenangan yang bisa teringat dari anak keduanya. Menurut Jenie, masing-masing anaknya memiliki perbedaan. Namun, mereka adalah anak milik Tuhan yang mempercayakannya kepada orangtua agar orangtua mengajarkan kebenaran mengenai ajaran-Nya. Hal ini dilakukan agar kelak mereka pun saat menjadi orangtua dapat melakukan hal yang sama bagi anak-anak mereka dan seterusnya sampai generasi ke generasi hidup takut akan Tuhan tersebut dapat terus berlanjut.

Pendidikan yang Ditempuh Kedua Anaknya
Seiring berjalannya waktu, tidak terasa Priskila sudah menyelesaikan S1 dan menyandang gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Sam Ratulangi. Setelah ia menyelesaikan S1nya, ia langsung melanjutkan pendidikannya di Universitas Klabat (Unklab). Ia mengambil S2 di jurusan Manajemen. Jika berjalan lancar, Priskila akan menyelesaikan kuliahnya pada bulan Desember 2015. Kemudian anak keduanya, Grace Samantha Rottie dapat menyelesaikan pendidikannya di bangku SMA. Kemudian pada tahun 2014, Grace mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di Surya University. Harapan Jenie tentu saja sama dengan orangtua lainnya. Ia ingin melihat anak keduanya juga dapat menyelesaikan pendidikannya di bangku perkuliahan dengan tepat waktu. Ia juga bersama suaminya menginginkan masa depan anak-anak mereka sesuai dengan kehendak Tuhan.

Selalu Mengandalkan Tuhan adalah Kunci Kesuksesan
            Menurut Jenie, orang yang sukses adalah bukan yang memiliki segala sesuatu, baik itu dari kekayaan, kepintaran, mendapatkan semua yang diingini ataupun hal yang lain. Semua itu hanyalah tambahan. Namun, ketika hidupnya benar dan hidup yang selalu mengandalkan Tuhan, maka itulah hidup sukses yang sesungguhnya. Seperti kata dalam Matius 6:33, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Demikianlah perjalanan hidup Jenie sebagai seorang ibu dan juga sebagai seorang Hamba Tuhan.
Segala hormat dan pujian hanya bagi Tuhan yang empunya hidup dan pelayanan ini. Amin.