Rabu, 31 Agustus 2016

Hamen: Penerus Kepala Desa Dayak Iban

(Cerita yang dibuat berdasarkan dari kebudayaan Suku Dayak Iban (Kalimantan Barat) yang telah dimodifikasi)
          Di malam hari yang sungguh indah di sebuah desa di Kalimantan Barat, tepatnya di Suku Dayak Iban, lahirlah seorang anak Tuai Kampung (Kepala Desa) yang nantinya akan menjadi penerus yang sangat dihormati oleh warganya.
        “Sedikit lagi indai (ibu). Anda pasti bisa,” kata seorang bidan desa. Beberapa saat kemudian terdengarlah suara tangisan bayi.
           “Haahh.. Haahh..”
        “Selamat indai! Bayi Anda laki-laki. Anda berhasil, indai.” Bidan tersebut pun memberikan bayinya kepelukan ibu. “Saya akan memanggil Tuai Kampung Mualang.”
         “Tuai Kampung Mualang, bayi Anda telah lahir. Anda bisa masuk sekarang.” Dengan sedikit berlari, ayahnya menghampiri bayi tersebut dan mengelus kepala istri dan anaknya.
           “Mualang, lihat bayi kita. Dia terlihat sama sepertimu,” tutur ibu dengan wajah yang kelelahan tetapi tetap menunjukkan senyum di mulutnya.
           “Kita akan menamainya Hamen. Orang yang akan selalu mencintai sukunya.”

* * * * * * * * * * * * * *

17 tahun kemudian.    
Hamen tumbuh sebagai anak lelaki yang manis. Ia selalu dicintai seluruh warga desa karena sifatnya yang lemah lembut. Sifatnya itu merupakan turunan dari ibunya. Namun, karena sifatnya tersebut ia diragukan oleh beberapa warga desa sebagai penerus Tuai Kampung.
“Apa yang kamu lakukan Hamen!? Kenapa kamu bisa dikalahkan oleh bawahanmu sendiri dalam perburuan?” Ayah adalah orang yang keras. Ia selalu menuntut Hamen untuk dapat menjadi pria yang kuat dan perkasa.
“Aku tidak bisa melukai rusa kecil itu, apai. Wajahnya terlihat takut saat aku membidikkan panah...” Plakk. Tidak sempat Hamen menyelesaikan kalimatnya, ayah menamparnya dengan sangat kuat. Hamen pun jatuh terkapar.
“Rusa kecil saja kamu tidak dapat membunuhnya. Apalagi menjaga suku kita dari serangan musuh? Apai telah banyak melatihmu tetapi kenapa kamu tidak pernah berubah?”
Apai, maafkan aku.”
“Kamu mengecewakanku, nak.” Ayah meninggalkan ruangan dengan raut wajah yang sedih. Hamen tidak mengerti, mengapa ia harus membunuh rusa kecil yang tidak bersalah itu? Apakah ia harus membunuh untuk melindungi sukunya?
Dengan termenung, Hamen pergi ke tempat yang biasa ia datangi jika sedang bersedih. Sebuah danau di pinggir desa yang cukup membuatnya tenang sambil mendengar kicauan burung yang merdu. Tidak menunggu lama saat Hamen duduk di atas batu, burung-burung tersebut langsung mendatanginya.
“Suaramu begitu merdu, hai burung kecil. Seandainya aku bisa hidup seperti kalian yang sangat damai.” Hamen mengelus kepala salah satu burung yang hinggap di pundaknya. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik yang berasal dari rerumputan ilalang yang ada di belakang Hamen.
Srek.. Srek..
“Siapa di sana?” Tanya Hamen dengan waspada.
“Ah ini aku Hamen.” Dari balik rerumputan ilalang tersebut, muncullah teman dekat lelaki Hamen, yaitu Simpei. Ia adalah teman seperjuangan Hamen sejak masih kecil. Usianya 2 tahun lebih tua daripada Hamen. Tentunya Simpei merupakan salah satu orang kebanggaan ayah karena keahliannya dalam berburu dan juga bertarung.
“Ternyata kamu Simpei. Ada apa?”
“Seharunya aku yang menanyaimu. Aku tadi melihatmu saat bersama dengan ayahmu,” kata Simpei sambil menghampiri Hamen.
“Haaahh.. Aku pantas diperlakukan seperti itu. Aku memang anak yang mengecewakan. Padahal aku nantinya akan menjadi Tuai Kampung, tetapi berburu saja aku tidak bisa. Selain itu, dalam hal bertarung pun kamu selalu yang nomor satu.”
“Hahaha kamu terlalu merendahkan diri. Memang benar, kamu sangat lemah kalau berhubungan dengan hal itu. Namun, hmm.. Kamu orang yang baik hati dan adil. Tidak sepertiku yang kasar. Hahahaha.” Dengan nada yang bercanda, Simpei memukul belakangku dengan cukup kuat.
“Auuw. Kebiasaan.”
“Yaahh tetapi Hamen, aku setuju dengan kata-kata ayahmu. Umurmu telah masuk keusia 17 tahun. Sebentar lagi, kamu akan menginjak umur dewasa. Ayahmu sudah lanjut usia, mau tidak mau kamu harus bisa melindungi suku ini. Kamu harus menjadi kuat.”
“Ya aku tau Simpei. Namun, itu sungguh sulit. Aku jadi teringat masa kecil kita dulu. Tidak usah memikirkan hal seperti ini dan tentunya masih ada dia.”
“Dia? Haha ternyata kamu masih mengingatnya?”
“Tentu saja Simpei. Dia adalah gadis kecil yang selalu menerimaku apa adanya.”
“Iya iya tau. Cinta pertamamu kan? Gadis yang selalu ada dipikiranmu sampai sekarang ini,” goda Simpei pada Hamen.
“Ckckck. Dasar kamu Simpei. Berhenti menggodaku!”
“Hahaha iya ampun ampun. Namun, dimana ya keberadaannya sekarang? Dia menghilang saat terjadi peperangan 12 tahun yang lalu. Aku merindukannya.”
“Ya. Aku juga merindukannya... Sangat merindukannya...” Setelah Hamen mengatakan hal itu, keduanya termenung dalam memori. Suasana menjadi hening, hanya suara kicauan burung yang terdengar dan juga gemerisik daun akibat embusan angin yang bertiup lembut.

* * * * * * * * * * * * * *

            “Tuai Kampung Mualang! Ada berita buruk dari perbatasan desa di daerah timur,” teriak salah satu prajurit desa dari luar rumah Tuai Kampung sambil masuk ke dalam rumah.
            “Apa yang mau kamu laporkan?” Tanya Mualang dengan nada serius.
            “Pertahanan kita di perbatasan timur desa telah diserang oleh musuh semalam. Mereka mencuri hasil panen kita dan membunuh sekitar 5 orang suku kita.”
            “Apa? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mereka telah melanggar perjanjian.”
            “Apa yang harus kita lakukan, Tuai Kampung Mualang?”
            “Hmm.. Tidak ada cara lain. Kita harus melakukan upacara itu.”
            “Maksud Anda, upacara...”
       “Ya, prajurit. Upacara Mengayau. Beritahukan kepada seluruh warga desa siapkan semua keperluannya selama seminggu. Kita akan melakukan upacara itu minggu depan dan setelah itu kita akan memburu suku Kenyah.”
            “Baik, Tuai Kampung Mualang.”
       Seperti perkataan ayah, prajurit tersebut mengumumkan kepada seluruh warga desa untuk mempersiapkan Upacara Mengayau. Semua warga yang mendengarnya agak kaget dengan berita tersebut, tetapi ada pun warga yang senang dengan perkataan prajurit tersebut. Mereka senang karena akhirnya upacara tersebut dapat dilaksanakan kembali.
            “Benarkah yang aku dengar? Perbatasan kita telah diserang dan ada beberapa warga kita yang mereka culik?” Tanya Hamen dengan gemetar.
       “Iya dan kita akan melakukan Upacara Mengayau. Tuai Kampung Mualang telah mengizinkannya tadi pagi. Warga sedang mempersiapkan semuanya,” jawab Simpei.
            “Dan aku akan menjadi salah satu pengayau. Namun, tenang saja kamu tidak akan diikutkan dalam peperangan kali ini. Tuai Kampung Mualang tidak akan setega itu,” balas Simpei lagi.
            Upacara Mengayau adalah upacara yang dilakukan ketika akan pergi berperang. Mengayau sendiri berarti berburu kepala musuh yang dilakukan secara berkelompok. Pengayau akan memenggal semua kepala musuh kaum pria yang mereka temui. Ayah Hamen memilih semua kaum pria yang layak untuk menjadi pengayau. Pengayau yang dipilih harus memiliki hati yang bersih dan memiliki semangat juang yang tinggi. Ayah Hamen pun memanggil nama yang akan ikut berperang satu-persatu. Salah satunya adalah Simpei. Ia memang prajurit terbaik di desa. Namun, semua orang terkaget saat mendengar nama Hamen disebutkan.
            “Dan yang terakhir, Hamen. Kamu juga akan ikut dalam perang kali ini. Saya rasa ini adalah waktu yang tepat untukmu belajar bagaimana menjadi penerus yang kuat.”
            “Namun Tuai Kampung Mualang, Hamen belum cukup kuat untuk ikut serta dalam peperangan ini,” protes Simpei. Beberapa warga desa pun ada yang menyetujui dan juga memrotes keputusan Tuai Kampung Mualang.
            “Saya sudah membuat keputusan. Orang yang mencoba untuk melanggarnya akan saya kenakan hukuman. Sekarang kalian harus fokus dalam menyiapkan upacara tersebut.”
            Setelah pengumuman sekaligus pembagian tugas dari Tuai Kampung Mualang selesai, semuanya kembali mempersiapkan apa saja yang diperlukan untuk Upacara Mengayau. Kaum perempuan diberikan tugas untuk menyiapkan dan menghidangkan sesaji. Kemudian menyerahkannya kepada Tuai Kampung Mualang. Sesaji-sesaji tersebut berupa tujuh piring pulut (ketan), tujuh piring tempe (pulut yang dicampur dengan beras), tujuh piring rendai (terbuat dari beras ketan yang disangrai), tujuh butir telur ayam matang, tujuh buah ketupat yang diikat, tujuh jalong cubit (seikat benang yang diikatkan pada ketupat), sepiring utai bekaki (tepung pulut dicampur dengan tepung beras), dua ekor babi (jantan atau betina), tiga ekor ayam jantan, tengkorak manusia sebagai simbol manusia, sebuah kelapa tua sebagai simbol kepala manusia, dan minuman tuak. Tidak lupa juga sirih, sedek (gambir), rokok, kapur pinang, buah pinang dan tembakau yang ditempatkan dalam satu piring sendiri. Mereka mencari sesajian tersebut di sekitar hutan. Pada saat upacara berlangsung, kaum perempuan juga bertugas untuk menemani para pengayau menari. Sementara itum kaum lelaki diberikan tugas oleh Tuai Kampung Mualang untuk menghias rumah adat betang, yaitu rumah adat suku Dayak yang khusus digunakan untuk menyelenggarakan segala upacara adat termasuk upacara adat mengayau. Kemudian menyiapkan alat-alat perang, serta peralatan dan bahan yang dibutuhkan. Peralatan yang harus disiapkan oleh mereka berupa sangkok (tombak), terabi (perisai), mandau (senjata khas suku Dayak). Alat-alat tersebut akan ditempatkan di tempat yang khusus dan tidak boleh dipegang oleh sembarang orang karena dianggap sakral. Peralatan yang lain juga meliputi tersang (ancak yang terbuat dari bambu untuk menyimpan sesaji), selembar bendera lima warna, yaitu merah (melambangkan sifat berani), hijau (melambangkan kesuburan), kuning (melambangkan ketulusan), hitam (melambangkan perlindungan dari orang yang bermaksud jahat), dan putih (melambangkan hati dan pikiran yang suci dan jernih), lalu grumung (gong kecil), tawak (gong besar), gendang, dan terakhir bebendai (gong sedang).
            “Semua alat dan sesajian harus lengkap. Tidak boleh ada yang kurang,” teriak salah satu panitia yang ditunjuk langsung oleh Tuai Kampung Mualang untuk bertanggung jawab atas kelengkapan upacara. Selama seminggu mereka semua harus dapat mengumpulkan semuanya.
            Tibalah hari upacara. Semua warga desa serius mengikuti setiap proses pelaksanaan upacara. Dalam proses persiapan, mereka mengumpulkan semua bahan dan alat di tempat yang telah disediakan. Tidak lupa juga kaum lelaki menyiapkan pengaroh (jimat) dan mencari lauk-pauk untuk perbekalan selama mengayau. Setelah semua persiapan dirasakan cukup, dimulailah pelaksanaan upacara. Di dalam rumah betang, para pengayau datang dan duduk secara berderet, serta dihidangkan sesaji yang telah disediakan.
            “Kamu tidak usah takut aku akan menjagamu di medan perang. Ikuti saja upacaranya dengan baik,” bisik Simpei setelah duduk kepada Hamen. Hamen pun mengangguk mengikuti perkataan Simpei.
            Keadaan di ruangan tersebut begitu sunyi hingga Ketua Suku mulai membacakan mantra yang terdengar sangat jelas sambil mengibas-ngibaskan seekor ayam di atas kepala para pengayau sebanyak tiga kali. Selanjutnya, ia membacaan mantra kepada sesajian yang ada. Setelah itu, ia menuangkan air tuak ke tanah sebanyak tujuh kali untuk memanggil roh nenek moyang agar melindungi dan membantu pada pengayau dalam perang.
            Kemudian, Ketua Suku menumpahkan tuak sebanyak tiga kali ke tanah untuk mengundang dewa-dewa agar hadir di rumah betang tersebut dan meminum tuak tersebut. Ia melakukan hal tersebut agar roh-roh nenek moyang yang sudah berada di rumah tersebut ikut menikmati sesajian yang dipersembahkan. Ketua Suku beserta para pengayau dan para tamu lainnya pun menikmati sesaji yang telah disediakan. Sesaji pulut pun dimakan sebagai hidangan pertama karena dianggap sebagai lambang perekat kebersamaan atau kekompakan pasukan dalam perang nanti. Setelah itu, mereka meminum tuak untuk membuat semangat. Tuai Kampung Mualang kemudian mengambil tempe, lalu menaburkan padi ke atas kepala para pengayau yang merupakan lambang bahwa suku Dayak Iban mempunyai hati nurani yang jujur dan luhur laksana padi. Kemudian dilanjutkan lagi dengan menyediakan sirih, rokok, daun apok, serta masing-masing lima batang pelengkapan sesaji yang lain, kemudian diletakkan dalam piring. Piring tersebut diletakkan di ancak (tempat sesaji) dan didirikan di tiang bagian tengah rumah betang (tiang ranyai) yang bertujuan agar para dewa hadir di rumah tersebut. Setelah semuanya selesai, lanjutlah ke proses turun ngayau.
            Tuai Kampung Mualang kembali membacakan mantra-mantra kepada peralatan perang agar diberkati oleh roh kepala-kepala suku terdahulu. Lalu, ia memotong ayam. Saat Tuai Kampung Mualang memotong ayam tersebut, perut Hamen terasa bergejolak. Rasanya ia ingin muntah melihat darah yang menetes dari tubuh ayam tersebut.
            “Hei Hamen, jangan muntah di sini. Kalau kamu muntah bakal fatal akibatnya,” bisik Simpei. Dengan terpaksa Hamen menahan rasa ingin muntahnya tersebut. Upacara pun berlanjut. Darah ayam tersebut diambil dan dioleskan pada kaki dan dahi para pengayau yang akan berperang agar mereka diberkati. Setelah itu, bulu ayam dicabut dan dioleskan di dahi para peserta yang lain agar tidak diganggu oleh roh-roh jahat. Untung saja Hamen dapat menahan rasa jijiknya terhadap darah. Hamen dan para pengayau lainnya pun berdiri mengambil peralatan perang dan diselipkan di pinggang masing-masing. Setelah itu, mereka menuruni tangga rumah betang sambil membawa satu ekor babi dengan tujuan agar para dewa di kahyangan ikut bersama dan membantu dalam perang.
            Namun, saat Hamen menuruni tangga, ayahnya membisikkan sebuah kalimat.
“Ini adalah saatnya kamu membuktikan bahwa kamu pantas untuk menjadi Tuai Kampung berikutnya. Apai mengandalkanmu, nak.” Perasaan Hamen begitu resah saat mendengar kata-kata ayahnya. Hamen mengerti perasaan ayahnya. Ia tahu apa yang dilakukan ayahnya selama ini kepadanya hanyalah untuk membuat warga desa mengakui Hamen. Ayahnya tidak mau anaknya menjadi bahan olok-olokan.
Hati Hamen gelisah. Ia bingung apa yang harus dilakukannya. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus terus melangkah ataukah aku harus mundur? Aku ingin menjadi anak kebanggaan ayah. Aku juga ingin membuat warga desa mengakui aku sebagai penerus Tuai Kampung. Namun, aku begitu lemah.
Begitu banyak hal yang dipikirkan oleh Hamen saat menuruni tangga. Saat para pengayau lainnya sedang memikirkan strategi memotong kepala musuh dengan cepat dan tepat, Hamen teringat akan gadis kecil yang dulu selalu bersamanya. Ia mengingat kata-kata gadis tersebut. “Ingatlah Hamen, mungkin orang berpikir kamu lemah. Namun, kekuatan itu bukan muncul dari pikiran, tetapi dari hati. Kamu bisa menjadi kuat.”
Saat Hamen memikirkan perkataan gadis tersebut, para pengayau dan juga warga desa lainnya sedang melakukan pemanggilan kekuatan dan bantuan kepada Komang yang merupakan makhluk seperti manusia tetapi tidak memiliki wujud. Hamen langsung tersadar saat mereka saling berteriak. Teriakan mereka memiliki kekuatan magis dan supranatural sehingga satu-persatu para pengayau terhipnotis. Sekarang mereka berubah menjadi manusia yang haus akan darah, baik itu membunuh ataupun dibunuh. Hamen yang teringat akan gadis kecil yang menghilang saat peperangan akibat dirinya yang begitu lemah dan juga mengingat apa yang dilakukan musuh terhadap warga desanya pun mengikuti teriakan itu sambil mengeluarkan air mata. Sehingga dalam sekejap, Hamen terhipnotis.
Mulailah waktu perburuan. Sekelompok pengayau pergi menghadapi musuh dengan berbagai alat yang telah disediakan. Mereka diintruksikan tidak boleh untuk berpencar. Karena apabila hal ini dilanggar, mereka akan mengalami kekalahan. Dengan keinginan untuk membunuh, mereka terlihat seperti orang lain. Stamina mereka menjadi lebih kuat. Hamen pun bukan lagi seperti Hamen yang lemah. Walaupun tubuhnya yang kecil, matanya yang tajam penuh dengan kebencian membuat dirinya tampak kuat.
Butuh waktu sekitar 30 menit untuk tiba di tempat musuh. Namun, karena kecepatan langkah para pengayau begitu hebat, mereka hanya memerlukan waktu 15 menit untuk tiba di sana. Saat wilayah Suku Kenyah terlihat, seorang pengayau melemparkan sangkok dengan begitu kuat sehingga senjata tersebut dapat melambung tinggi. Ternyata sangkok tersebut mengenai salah satu prajurit Suku Kenyah yang sedang patroli. Para pengayau memang melakukan serangan secara mendadak sehingga Suku Kenyah tidak sempat melakukan perlindungan. Pertumpahan darah pun terjadi. Satu per satu kepala musuh terpenggal akibat keahlian para pengayau dalam memainkan mandau mereka. Pasukan pengayau hanya terdiri dari 15 orang. Namun, mereka dapat dengan cepat menguasai medan perang. Hamen yang awalnya akan dianggap menyusahkan oleh para pengayau lainnya, akhirnya berubah pikiran saat melihat aksi Hamen yang begitu hebat. Hamen sangat berbeda di medan perang tersebut. Simpei pun menatap kaget Hamen saat melihat telah banyak kepala musuh yang dipenggalnya. Mungkin jika orang melihat aksi Hamen dan Simpei di medan perang tersebut pasti mereka akan berpendapat bahwa Hamen lebih pandai memainkan mandau daripada Simpei.
Hamen tidak mengetahui mengapa tubuhnya dapat bergerak begitu lihai. Ia pun tidak jijik melihat darah yang tertumpah. Ia hanya merasakan marah bercampur sedih di hatinya. Marah akibat warga desanya yang terbunuh dan sedih penyesalan mengapa ia tidak sekuat ini saat melindungi teman kecilnya dulu. 15, 16, 17, 18 kepala telah terpenggal oleh senjata Hamen. Ia tidak kunjung berhenti sampai semua musuh dibasmi. Tentu saja yang ia bunuh hanya kaum lelaki saja, sedangkan beberapa kaum perempuan dan anak-anak mereka sisihkan untuk menjadi budak. Dalam peperangan tersebut, Suku Iban tidak terkalahkan. Mereka dengan mudahnya mematahkan kehebatan Suku Kenyah. Saat Hamen memenggal Tuai Kampung bangsa Kenyah, peperangan pun berakhir.
“Hamen, kami telah mengevakuasi warga suku kita yang telah diculik dan warga Suku Kenyah yang tersisa,” kata Simpei mewakili para pengayau.
“Hitunglah apakah warga kita yang diculik telah lengkap dan apakah ada wanita yang dapat kita bawa untuk menjadi budak kita,” balas Hamen. Karena kehebatan Hamen saat peperangan tadi telah diakui oleh para pengayau lainnya, Hamen mengambil posisi ketua tanpa disadari. Saat ia sibuk membantu Simpei, Hamen terpaku saat mendengar suara panggilan dari arah sekumpulan warga Suku Kenyah.
“Hamen?” Suara itu memanggil dari kejauhan.
“Apakah benar itu kamu, Hamen?” Suara itu kembali berbunyi. Hamen tetap terdiam dan terpaku di atas tumpuan kakinya.
“Hamen, ini aku Kalawa.”
Kalawa? Itu tidak mungkin. Dia tidak mungkin masih hidup. Hamen tidak dapat memercayai perkataan wanita tersebut.
“Kalawa? Kamu Kalawa?” Bukan hanya Hamen saja yang menyadari suara tersebut. Simpei pun menyadarinya dan menoleh ke arah Kalawa.
“Sim.. Simpei?” Tanya Kalawa agak ragu.
“Hahaha iya aku Simpei. Astaga Kalawa, bagaimana bisa kamu di sini? Aku sempat tidak mengenalmu tadi.” Simpei mendekati Kalawa. Sementara itu, Hamen tetap berdiam diri.
Kalawa adalah gadis yang cantik. Dari kecil hingga sekarang, lesung pipit yang dimilikinya saat tersenyum tidak pernah berubah. Hal itulah yang membuat Simpei sangat yakin bahwa dia adalah Kalawa.
“Maaf Kalawa, aku tadi tidak menyadari bahwa kamu adalah Kalawa,” kata Simpei sambil memegang pundak Kalawa.
“Aku sangat senang melihat kalian berdua dan juga warga Suku Iban lainnya,” tutur Kalawa dengan air matanya yang mulai terlihat. Saat mereka sedang bercerita, tidak disadari ternyata Hamen telah berada dekat dengan mereka.
“Ka.. Kalawa? Benarkah kamu Kalawa?” Tanya Hamen memastikan.
“Halo Hamen. Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi,” balas Kalawa sambil tersenyum. Sungguh indah senyum Kalawa. Itulah yang ada di benak Hamen. Hamen pun akhirnya percaya sepenuhnya bahwa itu adalah Kalawa. Senyuman yang indah seperti berada di tengah taman bunga. Hamen pun memeluk Kalawa.
“Hamen?” Tanya Kalawa kaget melihat aksi Hamen. Namun, beberapa detik kemudian bukk.
“Auuww. Apa yang kamu lakukan?” kata Kalawa kesal.
“Bodoh! Kamu kemana saja? Aku kira kamu sudah tiada!” balas Hamen kesal.
“Kamu saja yang...” Tidak sempat menyelesaikan perkataannya, Hamen memeluk Kalawa kembali.
“Aku merindukanmu, gadis bodoh.”
“Wah wah.. Akhirnya mereka dipertemukan kembali. Hahahaha,” ujar Simpei melihat betapa romantisnya mereka berdua.

* * * * * * * * * * * * * *

Kemudian, para warga desa yang diculik beserta beberapa wanita yang ditahan dibawa kembali ke Desa Suku Iban. Saat kembali, warga desa sangat senang mendengar kabar bahwa mereka memenangkan peperangan ini dan mereka pun terkejut bahwa apa yang dibawa oleh para pengayau bukan hanya warga yang diculik, tetapi juga Kalawa.
“Benarkah kamu Kalawa? Kemana saja kamu?”
“Kamu tetap cantik seperti dulu.”
Warga desa langsung mengerumuni Kalawa dan memberikan sejuta pertanyaan kepadanya. Di tengah kerumunan tersebut, terdengar suara larian yang semakin mendekat.
“Semuanya permisi. Aku mau lihat apakah itu benar Kalawa?” Suara itu berasal dari seorang ibu bernama Jenta.
“Kalawa? Astaga nak, ini aku indai,” kata ibu Jenta sambil memeluk Kalawa.
Indai? Aku sangat merindukanmu,” tutur Kalawa memeluk ibunya kembali.
Para pengayau disambut hangat oleh Tuai Kampung Mualang maupun warga desa. Mereka melanjutkan kembali Upacara Mengayau tersebut. Para pengayau tersebut disambut oleh musik dan tarian. Mereka meluapkan kegembiraannya dengan menari-nari, lalu kembali ke rumah betang. Kemudian mereka meletakkan kepala musuh yang berhasil mereka penggal selama perang di depan tangga rumah betang sambil bercengkerama antarsesama pengayau dan mengisahkan pengalaman mereka selama perang berlangsung. Kebanyakan isi percakapan mereka adalah tentang aksi Hamen saat berperang. Mereka takjub melihat keseriusan Hamen pada waktu itu. Mereka salah menyangka Hamen. Setelah itu, datang dua orang perempuan dan seorang pawang menuruni tangga rumah betang untuk mengantar sesaji sebagai simbol pemberkatan terhadap hasil perang. Lalu, tuan rumah mengibaskan seekor ayam dan memilih orang-orang yang akan membuat sesaji tersebut yang akan dipersembahkan kepada dewa yang dianggap telah membantu perang. Sesaji tersebut diletakkan di depan tangga menuju rumah betang dan dibiarkan selama tiga hari tanpa boleh dipindah.
Setelah semuanya selesai, mereka baru boleh memasuki rumah betang. Alat-alat musik tradisional pun mulai dimainkan. Bunyi tersebut merupakan tanda bahwa parra pengayau diperbolehkan untuk masuk ke dalam rumah. Namun, sebelumnya Tuai Kampung Mualang membacakan mantra sambil mengibas-ngibaskan ayam di atas kepala semua pengayau. Ia juga mencabut bulu ayam dan memotong ayam tersebut lalu mengoleskan darah ayam di dahi para pengayau. Jika semua proses sudah dilaksanakan, barulah mereka dapat menaiki tangga rumah betang. Ketika sampai di tangga paling atas, mereka disiram dengan tuak dan Tuai Kampung Mualang memberikan minuman tuak tersebut kepada para pengayau dengan maksud memberikan semangat kepada mereka yang telah berhasil memotong kepala musuh.
Di dalam rumah, Tuai Kampung Mualang telah menyiapkan sesaji. Lalu ia mengibaskan seekor ayam di atas kepala para pengayau dan memotong ayam tersebut. Kemudian darahnya dioleskan ke kepala musuh yang disimbolkan dengan tengkorak manusia dan buah kelapa. Ia juga mencabut bulu ayam dan mengoleskannya ke dahi para pengayau. Setelah selesai, sebuah sesaji digantungkan pada salah satu tiang rumah betang, yaitu ranyai. Selanjutnya upacara pun ditutup dengan tarian kemenangan.
“Hamen, jangan lupa bawa kepalanya,” kata Simpei yang telah lebih dahulu pergi ke luar rumah.
“Aduh aku tidak mau membawanya. Haahh kenapa aku bisa melakukan hal yang mengerikan ini?” Dengan terpaksa Hamen membawa satu kepala setelah dipelototi oleh ayahnya. Selama ia menari, Hamen tidak berani melihat kepala yang telah ia penggal. Kaum perempuan pun satu per satu mulai memasuki tarian dan menari bersama.
“Hei Hamen, mau ikut denganku?” Tanya Kalawa saat memasuki tarian.
“Mau kemana?” Kalawa pun menarik tangan Hamen dan membawanya pergi agak jauh dari keramaian. Mereka pergi ke tempat biasanya. Di sebuah danau yang sering mereka kujungi waktu kecil.
“Wah danaunya tidak berubah ya, Hamen.”
“Tentu saja. Siapa yang mau mengubahnya?”
“Hamen,” tutur Kalawa dengan lembut sambil menoleh ke arah Hamen.
“Kenapa?”
“Terima kasih sudah membawaku pulang,” kata Kalawa lagi sambil tersenyum.
Srek.. Srek..
            “Hamen, kamu mendengar suara itu?”
Srek.. Srek.
“Ya aku mendengarnya.. Keluarlah Simpei, aku tau kamu di situ,” kata Hamen sedikit berteriak.
“Hahaha ketahuan ya. Hmm habisnya aku ga enak mengganggu percakapan kalian.”
“Apaan sih, jangan melihatku seperti itu, Simpei!” ucap Hamen kesal melihat tatapan Simpei yang seperti menggoda.
“Hahaha kalian memang tidak pernah berubah.”
Setelah Upacara Mengayau berakhir, semuanya kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Namun, yang berbeda adalah sekarang Hamen sangat dihormati oleh warganya. Sekarang ia bukanlah Hamen yang Lemah, tetapi Hamen yang Berani. Ayahnya pun sangat bangga atas hasil kerjanya saat berperang. Hamen sekarang diakui oleh ayah maupun warga desa sebagai orang yang pantas meneruskan posisi ayahnya kelak. Hamen juga sekarang tidak sendirian. Selain memiliki Simpei yang dapat dipercaya, ia juga memiliki Kalawa, orang yang sangat dicintainya.


TAMAT