(Cerita yang dibuat berdasarkan dari kebudayaan Suku Dayak Iban (Kalimantan Barat) yang telah dimodifikasi)
Di malam hari yang sungguh indah di
sebuah desa di Kalimantan Barat, tepatnya di Suku Dayak Iban, lahirlah seorang
anak Tuai Kampung (Kepala Desa) yang
nantinya akan menjadi penerus yang sangat dihormati oleh warganya.
“Sedikit lagi indai (ibu). Anda pasti bisa,” kata seorang bidan desa. Beberapa
saat kemudian terdengarlah suara tangisan bayi.
“Haahh.. Haahh..”
“Selamat indai! Bayi Anda laki-laki. Anda berhasil, indai.” Bidan tersebut pun memberikan bayinya kepelukan ibu. “Saya akan memanggil Tuai Kampung Mualang.”
“Tuai
Kampung Mualang, bayi Anda telah lahir. Anda bisa masuk sekarang.” Dengan
sedikit berlari, ayahnya menghampiri bayi tersebut dan mengelus kepala istri
dan anaknya.
“Mualang, lihat bayi kita. Dia
terlihat sama sepertimu,” tutur ibu dengan wajah yang kelelahan tetapi tetap
menunjukkan senyum di mulutnya.
“Kita akan menamainya Hamen. Orang yang akan selalu mencintai
sukunya.”
* * * * * * * * * * * * * *
17
tahun kemudian.
Hamen
tumbuh sebagai anak lelaki yang manis. Ia selalu dicintai seluruh warga desa
karena sifatnya yang lemah lembut. Sifatnya itu merupakan turunan dari ibunya.
Namun, karena sifatnya tersebut ia diragukan oleh beberapa warga desa sebagai
penerus Tuai Kampung.
“Apa
yang kamu lakukan Hamen!? Kenapa kamu bisa dikalahkan oleh bawahanmu sendiri dalam
perburuan?” Ayah adalah orang yang keras. Ia selalu menuntut Hamen untuk dapat
menjadi pria yang kuat dan perkasa.
“Aku
tidak bisa melukai rusa kecil itu, apai.
Wajahnya terlihat takut saat aku membidikkan panah...” Plakk. Tidak sempat Hamen menyelesaikan kalimatnya, ayah menamparnya
dengan sangat kuat. Hamen pun jatuh terkapar.
“Rusa
kecil saja kamu tidak dapat membunuhnya. Apalagi menjaga suku kita dari
serangan musuh? Apai telah banyak
melatihmu tetapi kenapa kamu tidak pernah berubah?”
“Apai, maafkan aku.”
“Kamu
mengecewakanku, nak.” Ayah meninggalkan
ruangan dengan raut wajah yang sedih. Hamen tidak mengerti, mengapa ia harus
membunuh rusa kecil yang tidak bersalah itu? Apakah ia harus membunuh untuk
melindungi sukunya?
Dengan
termenung, Hamen pergi ke tempat yang biasa ia datangi jika sedang bersedih.
Sebuah danau di pinggir desa yang cukup membuatnya tenang sambil mendengar
kicauan burung yang merdu. Tidak menunggu lama saat Hamen duduk di atas batu,
burung-burung tersebut langsung mendatanginya.
“Suaramu
begitu merdu, hai burung kecil. Seandainya aku bisa hidup seperti kalian yang
sangat damai.” Hamen mengelus kepala salah satu burung yang hinggap di
pundaknya. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik yang berasal dari rerumputan
ilalang yang ada di belakang Hamen.
Srek.. Srek..
“Siapa
di sana?” Tanya Hamen dengan waspada.
“Ah
ini aku Hamen.” Dari balik rerumputan ilalang tersebut, muncullah teman dekat lelaki
Hamen, yaitu Simpei. Ia adalah teman seperjuangan Hamen sejak masih kecil.
Usianya 2 tahun lebih tua daripada Hamen. Tentunya Simpei merupakan salah satu
orang kebanggaan ayah karena
keahliannya dalam berburu dan juga bertarung.
“Ternyata
kamu Simpei. Ada apa?”
“Seharunya
aku yang menanyaimu. Aku tadi melihatmu saat bersama dengan ayahmu,” kata
Simpei sambil menghampiri Hamen.
“Haaahh..
Aku pantas diperlakukan seperti itu. Aku memang anak yang mengecewakan. Padahal
aku nantinya akan menjadi Tuai Kampung,
tetapi berburu saja aku tidak bisa. Selain itu, dalam hal bertarung pun kamu
selalu yang nomor satu.”
“Hahaha
kamu terlalu merendahkan diri. Memang benar, kamu sangat lemah kalau
berhubungan dengan hal itu. Namun, hmm.. Kamu orang yang baik hati dan adil.
Tidak sepertiku yang kasar. Hahahaha.” Dengan nada yang bercanda, Simpei
memukul belakangku dengan cukup kuat.
“Auuw.
Kebiasaan.”
“Yaahh
tetapi Hamen, aku setuju dengan kata-kata ayahmu. Umurmu telah masuk keusia 17
tahun. Sebentar lagi, kamu akan menginjak umur dewasa. Ayahmu sudah lanjut
usia, mau tidak mau kamu harus bisa melindungi suku ini. Kamu harus menjadi
kuat.”
“Ya
aku tau Simpei. Namun, itu sungguh sulit. Aku jadi teringat masa kecil kita
dulu. Tidak usah memikirkan hal seperti ini dan tentunya masih ada dia.”
“Dia?
Haha ternyata kamu masih mengingatnya?”
“Tentu
saja Simpei. Dia adalah gadis kecil yang selalu menerimaku apa adanya.”
“Iya
iya tau. Cinta pertamamu kan? Gadis yang selalu ada dipikiranmu sampai sekarang
ini,” goda Simpei pada Hamen.
“Ckckck.
Dasar kamu Simpei. Berhenti menggodaku!”
“Hahaha
iya ampun ampun. Namun, dimana ya keberadaannya sekarang? Dia menghilang saat
terjadi peperangan 12 tahun yang lalu. Aku merindukannya.”
“Ya.
Aku juga merindukannya... Sangat merindukannya...” Setelah Hamen mengatakan hal
itu, keduanya termenung dalam memori. Suasana menjadi hening, hanya suara
kicauan burung yang terdengar dan juga gemerisik daun akibat embusan angin yang
bertiup lembut.
* * * * * * * * * * * * * *
“Tuai
Kampung Mualang! Ada berita buruk dari perbatasan desa di daerah timur,”
teriak salah satu prajurit desa dari luar rumah Tuai Kampung sambil masuk ke dalam rumah.
“Apa yang mau kamu laporkan?” Tanya Mualang
dengan nada serius.
“Pertahanan kita di perbatasan timur
desa telah diserang oleh musuh semalam. Mereka mencuri hasil panen kita dan
membunuh sekitar 5 orang suku kita.”
“Apa? Bagaimana hal itu bisa
terjadi? Mereka telah melanggar perjanjian.”
“Apa yang harus kita lakukan, Tuai Kampung Mualang?”
“Hmm.. Tidak ada cara lain. Kita
harus melakukan upacara itu.”
“Maksud Anda, upacara...”
“Ya, prajurit. Upacara Mengayau. Beritahukan kepada seluruh
warga desa siapkan semua keperluannya selama seminggu. Kita akan melakukan
upacara itu minggu depan dan setelah itu kita akan memburu suku Kenyah.”
“Baik, Tuai Kampung Mualang.”
Seperti perkataan ayah, prajurit
tersebut mengumumkan kepada seluruh warga desa untuk mempersiapkan Upacara Mengayau. Semua warga yang mendengarnya
agak kaget dengan berita tersebut, tetapi ada pun warga yang senang dengan
perkataan prajurit tersebut. Mereka senang karena akhirnya upacara tersebut
dapat dilaksanakan kembali.
“Benarkah yang aku dengar?
Perbatasan kita telah diserang dan ada beberapa warga kita yang mereka culik?”
Tanya Hamen dengan gemetar.
“Iya dan kita akan melakukan Upacara
Mengayau. Tuai Kampung Mualang telah mengizinkannya tadi pagi. Warga sedang
mempersiapkan semuanya,” jawab Simpei.
“Dan aku akan menjadi salah satu pengayau. Namun, tenang saja kamu tidak
akan diikutkan dalam peperangan kali ini. Tuai
Kampung Mualang tidak akan setega itu,” balas Simpei lagi.
Upacara Mengayau adalah upacara yang dilakukan ketika akan pergi berperang.
Mengayau sendiri berarti berburu
kepala musuh yang dilakukan secara berkelompok. Pengayau akan memenggal semua kepala musuh kaum pria yang mereka
temui. Ayah Hamen memilih semua kaum pria yang layak untuk menjadi pengayau. Pengayau yang dipilih harus memiliki hati yang bersih dan memiliki
semangat juang yang tinggi. Ayah Hamen pun memanggil nama yang akan ikut
berperang satu-persatu. Salah satunya adalah Simpei. Ia memang prajurit terbaik
di desa. Namun, semua orang terkaget saat mendengar nama Hamen disebutkan.
“Dan yang terakhir, Hamen. Kamu juga
akan ikut dalam perang kali ini. Saya rasa ini adalah waktu yang tepat untukmu
belajar bagaimana menjadi penerus yang kuat.”
“Namun Tuai Kampung Mualang, Hamen belum cukup kuat untuk ikut serta dalam
peperangan ini,” protes Simpei. Beberapa warga desa pun ada yang menyetujui dan
juga memrotes keputusan Tuai Kampung
Mualang.
“Saya sudah membuat keputusan. Orang
yang mencoba untuk melanggarnya akan saya kenakan hukuman. Sekarang kalian
harus fokus dalam menyiapkan upacara tersebut.”
Setelah pengumuman sekaligus
pembagian tugas dari Tuai Kampung
Mualang selesai, semuanya kembali mempersiapkan apa saja yang diperlukan untuk Upacara
Mengayau. Kaum perempuan diberikan
tugas untuk menyiapkan dan menghidangkan sesaji. Kemudian menyerahkannya kepada
Tuai Kampung Mualang. Sesaji-sesaji
tersebut berupa tujuh piring pulut
(ketan), tujuh piring tempe (pulut
yang dicampur dengan beras), tujuh piring rendai
(terbuat dari beras ketan yang disangrai), tujuh butir telur ayam matang, tujuh
buah ketupat yang diikat, tujuh jalong
cubit (seikat benang yang diikatkan pada ketupat), sepiring utai bekaki (tepung pulut dicampur dengan tepung beras), dua ekor babi (jantan atau
betina), tiga ekor ayam jantan, tengkorak manusia sebagai simbol manusia,
sebuah kelapa tua sebagai simbol kepala manusia, dan minuman tuak. Tidak lupa
juga sirih, sedek (gambir), rokok,
kapur pinang, buah pinang dan tembakau yang ditempatkan dalam satu piring
sendiri. Mereka mencari sesajian tersebut di sekitar hutan. Pada saat upacara
berlangsung, kaum perempuan juga bertugas untuk menemani para pengayau menari. Sementara itum kaum
lelaki diberikan tugas oleh Tuai Kampung
Mualang untuk menghias rumah adat betang,
yaitu rumah adat suku Dayak yang khusus digunakan untuk menyelenggarakan segala
upacara adat termasuk upacara adat mengayau.
Kemudian menyiapkan alat-alat perang, serta peralatan dan bahan yang
dibutuhkan. Peralatan yang harus disiapkan oleh mereka berupa sangkok (tombak), terabi (perisai), mandau
(senjata khas suku Dayak). Alat-alat tersebut akan ditempatkan di tempat yang
khusus dan tidak boleh dipegang oleh sembarang orang karena dianggap sakral.
Peralatan yang lain juga meliputi tersang
(ancak yang terbuat dari bambu untuk menyimpan sesaji), selembar bendera lima
warna, yaitu merah (melambangkan sifat berani), hijau (melambangkan kesuburan),
kuning (melambangkan ketulusan), hitam (melambangkan perlindungan dari orang
yang bermaksud jahat), dan putih (melambangkan hati dan pikiran yang suci dan
jernih), lalu grumung (gong kecil), tawak (gong besar), gendang, dan
terakhir bebendai (gong sedang).
“Semua alat dan sesajian harus
lengkap. Tidak boleh ada yang kurang,” teriak salah satu panitia yang ditunjuk
langsung oleh Tuai Kampung Mualang
untuk bertanggung jawab atas kelengkapan upacara. Selama seminggu mereka semua
harus dapat mengumpulkan semuanya.
Tibalah hari upacara. Semua warga
desa serius mengikuti setiap proses pelaksanaan upacara. Dalam proses
persiapan, mereka mengumpulkan semua bahan dan alat di tempat yang telah
disediakan. Tidak lupa juga kaum lelaki menyiapkan pengaroh (jimat) dan mencari lauk-pauk untuk perbekalan selama mengayau. Setelah semua persiapan
dirasakan cukup, dimulailah pelaksanaan upacara. Di dalam rumah betang, para pengayau datang dan duduk secara berderet, serta dihidangkan sesaji
yang telah disediakan.
“Kamu tidak usah takut aku akan
menjagamu di medan perang. Ikuti saja upacaranya dengan baik,” bisik Simpei
setelah duduk kepada Hamen. Hamen pun mengangguk mengikuti perkataan Simpei.
Keadaan di ruangan tersebut begitu
sunyi hingga Ketua Suku mulai membacakan mantra yang terdengar sangat jelas
sambil mengibas-ngibaskan seekor ayam di atas kepala para pengayau sebanyak tiga kali. Selanjutnya, ia membacaan mantra
kepada sesajian yang ada. Setelah itu, ia menuangkan air tuak ke tanah sebanyak
tujuh kali untuk memanggil roh nenek moyang agar melindungi dan membantu pada pengayau dalam perang.
Kemudian, Ketua Suku menumpahkan
tuak sebanyak tiga kali ke tanah untuk mengundang dewa-dewa agar hadir di rumah
betang tersebut dan meminum tuak
tersebut. Ia melakukan hal tersebut agar roh-roh nenek moyang yang sudah berada
di rumah tersebut ikut menikmati sesajian yang dipersembahkan. Ketua Suku
beserta para pengayau dan para tamu
lainnya pun menikmati sesaji yang telah disediakan. Sesaji pulut pun dimakan sebagai hidangan pertama karena dianggap sebagai
lambang perekat kebersamaan atau kekompakan pasukan dalam perang nanti. Setelah
itu, mereka meminum tuak untuk membuat semangat. Tuai Kampung Mualang kemudian mengambil tempe, lalu menaburkan padi
ke atas kepala para pengayau yang
merupakan lambang bahwa suku Dayak Iban mempunyai hati nurani yang jujur dan
luhur laksana padi. Kemudian dilanjutkan lagi dengan menyediakan sirih, rokok,
daun apok, serta masing-masing lima
batang pelengkapan sesaji yang lain, kemudian diletakkan dalam piring. Piring
tersebut diletakkan di ancak (tempat
sesaji) dan didirikan di tiang bagian tengah rumah betang (tiang ranyai)
yang bertujuan agar para dewa hadir di rumah tersebut. Setelah semuanya
selesai, lanjutlah ke proses turun ngayau.
Tuai
Kampung Mualang kembali membacakan mantra-mantra kepada peralatan perang
agar diberkati oleh roh kepala-kepala suku terdahulu. Lalu, ia memotong ayam.
Saat Tuai Kampung Mualang memotong
ayam tersebut, perut Hamen terasa bergejolak. Rasanya ia ingin muntah melihat
darah yang menetes dari tubuh ayam tersebut.
“Hei Hamen, jangan muntah di sini.
Kalau kamu muntah bakal fatal akibatnya,” bisik Simpei. Dengan terpaksa Hamen
menahan rasa ingin muntahnya tersebut. Upacara pun berlanjut. Darah ayam
tersebut diambil dan dioleskan pada kaki dan dahi para pengayau yang akan berperang agar mereka diberkati. Setelah itu,
bulu ayam dicabut dan dioleskan di dahi para peserta yang lain agar tidak
diganggu oleh roh-roh jahat. Untung saja Hamen dapat menahan rasa jijiknya
terhadap darah. Hamen dan para pengayau
lainnya pun berdiri mengambil peralatan perang dan diselipkan di pinggang
masing-masing. Setelah itu, mereka menuruni tangga rumah betang sambil membawa satu ekor babi dengan tujuan agar para dewa
di kahyangan ikut bersama dan membantu dalam perang.
Namun, saat Hamen menuruni tangga,
ayahnya membisikkan sebuah kalimat.
“Ini
adalah saatnya kamu membuktikan bahwa kamu pantas untuk menjadi Tuai Kampung berikutnya. Apai mengandalkanmu, nak.” Perasaan
Hamen begitu resah saat mendengar kata-kata ayahnya. Hamen mengerti perasaan
ayahnya. Ia tahu apa yang dilakukan ayahnya selama ini kepadanya hanyalah untuk
membuat warga desa mengakui Hamen. Ayahnya tidak mau anaknya menjadi bahan
olok-olokan.
Hati
Hamen gelisah. Ia bingung apa yang harus dilakukannya. Apa yang harus aku
lakukan? Apakah aku harus terus melangkah ataukah aku harus mundur? Aku ingin
menjadi anak kebanggaan ayah. Aku juga ingin membuat warga desa mengakui aku
sebagai penerus Tuai Kampung. Namun,
aku begitu lemah.
Begitu
banyak hal yang dipikirkan oleh Hamen saat menuruni tangga. Saat para pengayau lainnya sedang memikirkan
strategi memotong kepala musuh dengan cepat dan tepat, Hamen teringat akan
gadis kecil yang dulu selalu bersamanya. Ia mengingat kata-kata gadis tersebut.
“Ingatlah Hamen, mungkin orang berpikir kamu lemah. Namun, kekuatan itu bukan
muncul dari pikiran, tetapi dari hati. Kamu bisa menjadi kuat.”
Saat
Hamen memikirkan perkataan gadis tersebut, para pengayau dan juga warga desa lainnya sedang melakukan pemanggilan
kekuatan dan bantuan kepada Komang yang
merupakan makhluk seperti manusia tetapi tidak memiliki wujud. Hamen langsung
tersadar saat mereka saling berteriak. Teriakan mereka memiliki kekuatan magis
dan supranatural sehingga satu-persatu para pengayau
terhipnotis. Sekarang mereka berubah menjadi manusia yang haus akan darah, baik
itu membunuh ataupun dibunuh. Hamen yang teringat akan gadis kecil yang
menghilang saat peperangan akibat dirinya yang begitu lemah dan juga mengingat
apa yang dilakukan musuh terhadap warga desanya pun mengikuti teriakan itu
sambil mengeluarkan air mata. Sehingga dalam sekejap, Hamen terhipnotis.
Mulailah
waktu perburuan. Sekelompok pengayau
pergi menghadapi musuh dengan berbagai alat yang telah disediakan. Mereka
diintruksikan tidak boleh untuk berpencar. Karena apabila hal ini dilanggar,
mereka akan mengalami kekalahan. Dengan keinginan untuk membunuh, mereka
terlihat seperti orang lain. Stamina mereka menjadi lebih kuat. Hamen pun bukan
lagi seperti Hamen yang lemah. Walaupun tubuhnya yang kecil, matanya yang tajam
penuh dengan kebencian membuat dirinya tampak kuat.
Butuh
waktu sekitar 30 menit untuk tiba di tempat musuh. Namun, karena kecepatan
langkah para pengayau begitu hebat,
mereka hanya memerlukan waktu 15 menit untuk tiba di sana. Saat wilayah Suku
Kenyah terlihat, seorang pengayau
melemparkan sangkok dengan begitu
kuat sehingga senjata tersebut dapat melambung tinggi. Ternyata sangkok tersebut mengenai salah satu
prajurit Suku Kenyah yang sedang patroli. Para pengayau memang melakukan serangan secara mendadak sehingga Suku
Kenyah tidak sempat melakukan perlindungan. Pertumpahan darah pun terjadi. Satu
per satu kepala musuh terpenggal akibat keahlian para pengayau dalam memainkan mandau mereka. Pasukan pengayau hanya terdiri dari 15 orang.
Namun, mereka dapat dengan cepat menguasai medan perang. Hamen yang awalnya
akan dianggap menyusahkan oleh para pengayau
lainnya, akhirnya berubah pikiran saat melihat aksi Hamen yang begitu hebat.
Hamen sangat berbeda di medan perang tersebut. Simpei pun menatap kaget Hamen
saat melihat telah banyak kepala musuh yang dipenggalnya. Mungkin jika orang
melihat aksi Hamen dan Simpei di medan perang tersebut pasti mereka akan
berpendapat bahwa Hamen lebih pandai memainkan mandau daripada Simpei.
Hamen
tidak mengetahui mengapa tubuhnya dapat bergerak begitu lihai. Ia pun tidak
jijik melihat darah yang tertumpah. Ia hanya merasakan marah bercampur sedih di
hatinya. Marah akibat warga desanya yang terbunuh dan sedih penyesalan mengapa
ia tidak sekuat ini saat melindungi teman kecilnya dulu. 15, 16, 17, 18 kepala
telah terpenggal oleh senjata Hamen. Ia tidak kunjung berhenti sampai semua
musuh dibasmi. Tentu saja yang ia bunuh hanya kaum lelaki saja, sedangkan
beberapa kaum perempuan dan anak-anak mereka sisihkan untuk menjadi budak. Dalam
peperangan tersebut, Suku Iban tidak terkalahkan. Mereka dengan mudahnya
mematahkan kehebatan Suku Kenyah. Saat Hamen memenggal Tuai Kampung bangsa Kenyah, peperangan pun berakhir.
“Hamen,
kami telah mengevakuasi warga suku kita yang telah diculik dan warga Suku
Kenyah yang tersisa,” kata Simpei mewakili para pengayau.
“Hitunglah
apakah warga kita yang diculik telah lengkap dan apakah ada wanita yang dapat
kita bawa untuk menjadi budak kita,” balas Hamen. Karena kehebatan Hamen saat
peperangan tadi telah diakui oleh para pengayau
lainnya, Hamen mengambil posisi ketua tanpa disadari. Saat ia sibuk membantu
Simpei, Hamen terpaku saat mendengar suara panggilan dari arah sekumpulan warga
Suku Kenyah.
“Hamen?”
Suara itu memanggil dari kejauhan.
“Apakah
benar itu kamu, Hamen?” Suara itu kembali berbunyi. Hamen tetap terdiam dan terpaku
di atas tumpuan kakinya.
“Hamen,
ini aku Kalawa.”
Kalawa?
Itu tidak mungkin. Dia tidak mungkin masih hidup. Hamen tidak dapat memercayai
perkataan wanita tersebut.
“Kalawa?
Kamu Kalawa?” Bukan hanya Hamen saja yang menyadari suara tersebut. Simpei pun
menyadarinya dan menoleh ke arah Kalawa.
“Sim..
Simpei?” Tanya Kalawa agak ragu.
“Hahaha
iya aku Simpei. Astaga Kalawa, bagaimana bisa kamu di sini? Aku sempat tidak
mengenalmu tadi.” Simpei mendekati Kalawa. Sementara itu, Hamen tetap berdiam
diri.
Kalawa
adalah gadis yang cantik. Dari kecil hingga sekarang, lesung pipit yang
dimilikinya saat tersenyum tidak pernah berubah. Hal itulah yang membuat Simpei
sangat yakin bahwa dia adalah Kalawa.
“Maaf
Kalawa, aku tadi tidak menyadari bahwa kamu adalah Kalawa,” kata Simpei sambil
memegang pundak Kalawa.
“Aku
sangat senang melihat kalian berdua dan juga warga Suku Iban lainnya,” tutur
Kalawa dengan air matanya yang mulai terlihat. Saat mereka sedang bercerita,
tidak disadari ternyata Hamen telah berada dekat dengan mereka.
“Ka..
Kalawa? Benarkah kamu Kalawa?” Tanya Hamen memastikan.
“Halo
Hamen. Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi,” balas Kalawa sambil
tersenyum. Sungguh indah senyum Kalawa. Itulah yang ada di benak Hamen. Hamen
pun akhirnya percaya sepenuhnya bahwa itu adalah Kalawa. Senyuman yang indah
seperti berada di tengah taman bunga. Hamen pun memeluk Kalawa.
“Hamen?”
Tanya Kalawa kaget melihat aksi Hamen. Namun, beberapa detik kemudian bukk.
“Auuww.
Apa yang kamu lakukan?” kata Kalawa kesal.
“Bodoh!
Kamu kemana saja? Aku kira kamu sudah tiada!” balas Hamen kesal.
“Kamu
saja yang...” Tidak sempat menyelesaikan perkataannya, Hamen memeluk Kalawa
kembali.
“Aku
merindukanmu, gadis bodoh.”
“Wah
wah.. Akhirnya mereka dipertemukan kembali. Hahahaha,” ujar Simpei melihat
betapa romantisnya mereka berdua.
* * * * * * * * * * * * * *
Kemudian,
para warga desa yang diculik beserta beberapa wanita yang ditahan dibawa
kembali ke Desa Suku Iban. Saat kembali, warga desa sangat senang mendengar
kabar bahwa mereka memenangkan peperangan ini dan mereka pun terkejut bahwa apa
yang dibawa oleh para pengayau bukan
hanya warga yang diculik, tetapi juga Kalawa.
“Benarkah
kamu Kalawa? Kemana saja kamu?”
“Kamu
tetap cantik seperti dulu.”
Warga
desa langsung mengerumuni Kalawa dan memberikan sejuta pertanyaan kepadanya. Di
tengah kerumunan tersebut, terdengar suara larian yang semakin mendekat.
“Semuanya
permisi. Aku mau lihat apakah itu benar Kalawa?” Suara itu berasal dari seorang
ibu bernama Jenta.
“Kalawa?
Astaga nak, ini aku indai,” kata ibu
Jenta sambil memeluk Kalawa.
“Indai? Aku sangat merindukanmu,” tutur
Kalawa memeluk ibunya kembali.
Para
pengayau disambut hangat oleh Tuai Kampung Mualang maupun warga desa.
Mereka melanjutkan kembali Upacara Mengayau
tersebut. Para pengayau tersebut
disambut oleh musik dan tarian. Mereka meluapkan kegembiraannya dengan
menari-nari, lalu kembali ke rumah betang.
Kemudian mereka meletakkan kepala musuh yang berhasil mereka penggal selama
perang di depan tangga rumah betang
sambil bercengkerama antarsesama pengayau
dan mengisahkan pengalaman mereka selama perang berlangsung. Kebanyakan isi
percakapan mereka adalah tentang aksi Hamen saat berperang. Mereka takjub
melihat keseriusan Hamen pada waktu itu. Mereka salah menyangka Hamen. Setelah
itu, datang dua orang perempuan dan seorang pawang menuruni tangga rumah betang untuk mengantar sesaji sebagai
simbol pemberkatan terhadap hasil perang. Lalu, tuan rumah mengibaskan seekor
ayam dan memilih orang-orang yang akan membuat sesaji tersebut yang akan
dipersembahkan kepada dewa yang dianggap telah membantu perang. Sesaji tersebut
diletakkan di depan tangga menuju rumah betang
dan dibiarkan selama tiga hari tanpa boleh dipindah.
Setelah
semuanya selesai, mereka baru boleh memasuki rumah betang. Alat-alat musik tradisional pun mulai dimainkan. Bunyi
tersebut merupakan tanda bahwa parra pengayau
diperbolehkan untuk masuk ke dalam rumah. Namun, sebelumnya Tuai Kampung Mualang membacakan mantra
sambil mengibas-ngibaskan ayam di atas kepala semua pengayau. Ia juga mencabut bulu ayam dan memotong ayam tersebut
lalu mengoleskan darah ayam di dahi para pengayau.
Jika semua proses sudah dilaksanakan, barulah mereka dapat menaiki tangga rumah
betang. Ketika sampai di tangga
paling atas, mereka disiram dengan tuak dan Tuai
Kampung Mualang memberikan minuman tuak tersebut kepada para pengayau dengan maksud memberikan
semangat kepada mereka yang telah berhasil memotong kepala musuh.
Di
dalam rumah, Tuai Kampung Mualang
telah menyiapkan sesaji. Lalu ia mengibaskan seekor ayam di atas kepala para pengayau dan memotong ayam tersebut.
Kemudian darahnya dioleskan ke kepala musuh yang disimbolkan dengan tengkorak
manusia dan buah kelapa. Ia juga mencabut bulu ayam dan mengoleskannya ke dahi
para pengayau. Setelah selesai,
sebuah sesaji digantungkan pada salah satu tiang rumah betang, yaitu ranyai. Selanjutnya
upacara pun ditutup dengan tarian kemenangan.
“Hamen,
jangan lupa bawa kepalanya,” kata Simpei yang telah lebih dahulu pergi ke luar
rumah.
“Aduh
aku tidak mau membawanya. Haahh kenapa aku bisa melakukan hal yang mengerikan
ini?” Dengan terpaksa Hamen membawa satu kepala setelah dipelototi oleh
ayahnya. Selama ia menari, Hamen tidak berani melihat kepala yang telah ia
penggal. Kaum perempuan pun satu per satu mulai memasuki tarian dan menari
bersama.
“Hei
Hamen, mau ikut denganku?” Tanya Kalawa saat memasuki tarian.
“Mau
kemana?” Kalawa pun menarik tangan Hamen dan membawanya pergi agak jauh dari
keramaian. Mereka pergi ke tempat biasanya. Di sebuah danau yang sering mereka
kujungi waktu kecil.
“Wah
danaunya tidak berubah ya, Hamen.”
“Tentu
saja. Siapa yang mau mengubahnya?”
“Hamen,”
tutur Kalawa dengan lembut sambil menoleh ke arah Hamen.
“Kenapa?”
“Terima
kasih sudah membawaku pulang,” kata Kalawa lagi sambil tersenyum.
Srek.. Srek..
“Hamen, kamu mendengar suara itu?”
Srek.. Srek.
“Ya
aku mendengarnya.. Keluarlah Simpei, aku tau kamu di situ,” kata Hamen sedikit
berteriak.
“Hahaha
ketahuan ya. Hmm habisnya aku ga enak mengganggu percakapan kalian.”
“Apaan
sih, jangan melihatku seperti itu, Simpei!” ucap Hamen kesal melihat tatapan
Simpei yang seperti menggoda.
“Hahaha
kalian memang tidak pernah berubah.”
Setelah
Upacara Mengayau berakhir, semuanya
kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Namun, yang berbeda adalah sekarang
Hamen sangat dihormati oleh warganya. Sekarang ia bukanlah Hamen yang Lemah,
tetapi Hamen yang Berani. Ayahnya pun sangat bangga atas hasil kerjanya saat
berperang. Hamen sekarang diakui oleh ayah maupun warga desa sebagai orang yang
pantas meneruskan posisi ayahnya kelak. Hamen juga sekarang tidak sendirian.
Selain memiliki Simpei yang dapat dipercaya, ia juga memiliki Kalawa, orang
yang sangat dicintainya.
TAMAT